Akal Perempuan Menurut Hamka

KETIKA menafsirkan surah al-Nisa’ ayat 11 tentang pembahagian warisan antara laki-laki dan perempuan, Hamka menolak pendapat sebahagian mufassir yang mengatakan perempuan lebih lemah akalnya dibanding laki-laki.

Menurut Hamka akal mereka sama-sama memiliki kekurangan. Kesempurnaan pemikiran akan wujud jika seorang lelaki dan perempuan saling bertukar fikiran dalam menyelesaikan suatu masalah. Untuk mendukung pernyataannya ini, Hamka memberi contoh peranan Ummu Salamah dan Khadijah terhadap kejayaan Rasulullah SAW. Tidak mungkin seorang yang lemah akal, emosional dan tidak kuat mentalnya (penilaian yang sering dikatakan kepada perempuan) mampu memberi jalan keluar untuk mengatasi kesulitan serta memberikan ketenangan dan kekuatan kepada orang lain, seperti yang dilakukan Ummu Salamah dan Khadijah. Hamka menguraikan sebagai berikut:

“Kita melihat pada setengah tafsir, ahli-ahli tafsir itu mengeluarkan pendapat bahwa hikmah bagian laki-laki dua kali dari perempuan ialah karena akal perempuan itu kurang; akalnya hanya separuh laki-laki. Alasan itu kita bantah keras. Karena kalau kita pelajari dengan seksama, nyata sekali bahwa akal laki-laki dan perempuan, kedua-duanya itu sama-sama kurang. Barulah akan cukup kalau kedua akal itu digabungkan. Pengalaman-pengalaman di dalam rumah tangga yang bahagia membuktikan bahwa kerapkali ternyata seorang suami tidak dapat mengambil keputusan yang tepat sebelum mendapat petunjuk dari isterinya. Isteri pun kerapkali salah mengambil keputusan karena tidak bermusyawarah dengan suaminya. Dalam Perjanjian Hudaibiyah jelas sekali, bahwa nasihat Ummu Salamah-lah yang melepaskan Rasulullah SAW dari kesulitan.

Pada tahun keenam hijriah, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin akan melaksanakan ibadah haji. Ketika tiba di Hudaibiyah, rombongan Nabi Muhammad SAW dihalang oleh kaum musyrik Quraisy. Mereka menghalang kedatangan Nabi untuk menunaikan haji pada waktu itu. Lalu terjadilah perundingan antara kedua belah pihak dan menghasilkan sebuah perjanjian yang dikenali dengan perjanjian Hudaibiyah. Nabi SAW menerima perjanjian tersebut walaupun jika dilihat secara zahirnya ia sebagai sikap mengalah kaum muslim kepada kaum musyrik Quraisy, dan kelebihan perjanjian itu dilihat dimiliki oleh musyrik Quraisy. Akibat perjanjian tersebut pelaksanaan ibadah haji ditangguh hingga tahun depan dan menyebabkan kaum muslimin yang pada waktu itu sedang bersemangat untuk menunaikan haji harus kembali ke Madinah.

Untuk itu, Rasulullah SAW memerintahkan mereka bertahallul dan menyembelih (membayar dam dengan menyembelih). Para sahabat yang pada dasarnya tidak setuju dengan perjanjian tersebut kelihatan enggan melaksanakan perintah tersebut, sehingga Rasulullah SAW hampir saja marah karena perintahnya tidak dipatuhi. Pada saat penting itulah isterinya yang ikut pada waktu itu, Ummu Salamah, menarik tangan Rasulullah SAW ke dalam khemah untuk meredakan kemarahannya. Ummu Salamah menyarankan agar Rasulullah memulai sendiri bertahallul dan menyembelih (dam).

Ummu Salamah berkata: “Janganlah engkau marah ya Rasulullah. Engkau mulai saja sendiri. Segera sekarang juga engkau keluar, engkau gunting rambutmu, engkau sembelih binatang dammu kemudian lepaskan pakaian ihrammu.”

Tanpa berbicara lagi. Rasulullah SAW melaksanakan nasihat Ummu Salamah. Para sahabat yang melihat hal itu segera mengikuti perbuatan Rasulullah SAW, sehingga semuanya berjalan dengan lancar.”

Hal ini menunjukkan bahawa bukan hanya lelaki yang membela dan melindungi perempuan, tetapi juga sebaliknya, dapat dilihat dalam rumah tangga Rasulullah dengan Khadijah. Ketika Rasulullah SAW ketakutan sewaktu menerima wahyu pertama kali, Khadijah memberi kepercayaan kepada Rasulullah. Sikap dan kepercayaan yang telah diberikan Khadijah itu sangat besar ertinya dalam membangkitkan jiwa Rasulullah untuk memikul tanggung dan tugas yang dibebankan Allah SWT kepadanya. Bahkan pada tahap selanjutnya, seluruh harta bendanya dikorbankan untuk mendukung cita-cita suaminya, Rasulullah SAW.

Menurut Hamka, lelaki dan perempuan sama-sama memiliki kekurangan. Oleh kerana itu di antara mereka terdapat saling melengkapi. Laki-laki dengan segala kelebihannya melengkapi kekurangan perempuan, dan perempuan dengan segala kelebihannya melengkapi kekurangan lelaki.

Dalam penafsirannya terhadap surah al-Nisa’ ayat 11, Hamka mengatakan lagi sebagai berikut:

“Kita sendiri sebagai laki-laki ada cacatnya. Seorang yang belajar dari pengalamannya dapatlah meyakinkan, bahwasanya dua raga dan jiwa yang telah dipadukan oleh akad nikah, sama-sama dalam kekurangan. Yang satu akan mengimbuhi.”


Tulisan Ahmad Almeseiry Fhadrul Irwan ini ada di dalam Lalu Aku Hidup Sebagai Apa?

Komen